“Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya
dulu?”. Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu keduanya pun berpelukan.
“Keren sekali Kamu ya mas… manteb…”.
Zaenal terlihat masih dalam keadaan memakai dasi. Lengan baju yang digulungnya
untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad.
“Ah, biasa saja…”. kata Zaenal menaruh
iba. Ahmad yang dilihatnya sedang memegang kain pel. Khas marbot sekali. Celana
digulung, dan peci didongakkan sehingga jidat hitamnya terlihat dengan jelas.
“Mad! Ini kartu nama saya…”. Ahmad
lalu melihat dan membaca. “Manager Area”. Wuiiih..., bener-bener keren gumamnya
dalam hati.
“Mad, nanti sehabis saya shalat, kita
ngobrol ya... Maaf, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar
marbot di masjid ini. Maaf…”. Ahmad tersenyum. Ia pun mengangguk tanda setuju.
“Terima kasih ya…!" Jawab Ahmad
kemudian. Nanti kita ngobrol lagi. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun
akan menyelesaikan pekerjaan bersih-bersih dulu… Silahkan ya..mas! Yang
nyaman”.
Sambil wudhu, Zaenal tidak habis
pikir. Mengapa Ahmad, orang yang dikelasnya paling pintar kemudian harus
terlempar dari kehidupan yang normal. Ya..., meskipun tidak ada yang salah
dengan pekerjaan sebagai marbot, tapi marbot… aaah..., pikirannya tidak mampu
membenarkan.
Zaenal menyesalkan kondisi negerinya
ini yang tidak berpihak kepada orang-orang yang sebenarnya memiliki talenta dan
kecerdasan, namun miskin. Air wudhu membasahi wajahnya…
Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang
sedang bersih-bersih lantai. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di
perkantoran, maka sebutannya bukan marbot. Melainkan “office boy”.
Baca Halaman Selanjutnya 3 4